Hari mulai menampakkan warna jingganya yang lembut. Angin semilir membelai tiap helai rumput liar di tanah yang lapang itu. Pohon-pohon yang kokoh bergoyang mengikuti hembusan angin yang tak tentu arah.
Burung terbang kesana-kemari. Mengepakkan sayap kecilnya yang penuh dengan bulu lembutnya. Burung-burung itu hinggap di ranting pohon mangga milik laki-laki tua, yang selalu mengumpulkan kayu-kayu yang nantinya akan dijual untuk nafkah anak istrinya.Seekor ulat hijau kecil diam menatap burung-burung itu terbang kesana-kemari. Dia menatapnya penuh kekaguman. Ulat itu duduk diam di atas pohon yang telah tumbang. Dapat terlihat umur pohon itu dari tiap lingkar usianya.
Ulat hijau itu terus menatap burung-burung yang masih berterbangan. Burung-burung itu sibuk mencari makanan, entah itu cacing ataupun biji-bijian untuk diberikan kepada anak-anaknya.
Sesekali terlihat satu-dua burung membawa sehelai daun kering. Daun-daun kering itu akan ia kumpulkan untuk membuat sarang yang besar dan hangat. Dengan penuh kesabaran, para burung itu sibuk mengurus dirinya sendiri. Terbang bebas menembus cakrawala senja. Ulat hijau itu masih terus menatap burung-burung itu.
Dia mulai berfikir.“Aku ingin menjadi burung. Bisa terbang kesana kemari. Bersama kawanan burung. Membangun sarang. Sungguh pintar burung-burung itu. Membangun sarang dari daun yang kering, namun hangat. Aku akan menghasilkan telur yang banyak. Aku ingin menjadi burung. Burung punya bulu lembut. Aku tak mungkin kedinginan. Berpeluk bulu-bulu hangat dan tertidur pulas. Aku ingin menjadi seekor burung.”Dan ulat itu masih diam melihat burung-burung itu.Esoknya, udara begitu panas. Matahari sangat terik dan membosankan. Pekarangan milik laki-laki tua itu terasa sangat gersang. Meskipun tumbuhan hijau mengelilingi pekarangan rumah itu, tapi udara begitu panas untuk dinikmati.
Ulat hijau itu masih duduk terdiam di atas pohon yang tumbang itu. Dia tidak ingin kemana-mana. Dia merasa gerah apabila berjalan kesana-kemari. Dan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Dengan tubuh gemuk dan kecil, membuatnya cepat merasa gerah.
Senja pun mulai menghiasi langit. Mulai bermunculan capung-capung dari segala arah. Mereka terbang kesana-kemari. Dua sayap tipisnya bergerak begitu cepat. Seakan sangat ringan untuk dipatahkannya.Ulat hijau itu menatap kagum capung-capung yang ramai berterbangan di pekarangan milik laki-laki tua itu. Duduk diam menatap capung. Suara ngiungan capung membuat bising, tapi merdu.
Para capung saling bergerombol dan terbang naik-turun. Kompak sekali. Sesekali mereka berhenti terbang tetapi masih melayang. Dan sesekali capung-capung itu hinggap di dahan pohon atau pun bunga-bunga.
Ulat kecil itu mulai berfikir.“Aku ingin menjadi capung. Di cuaca panas seperti ini pasti menyenangkan terbang bersama kawanan capung yang lain. Badan yang ramping kecil tidak akan membuat badan gerah meski terbang di cuaca panas seperti ini. Sayapku tipis tetapi bisa mengepak cepat dan terasa ringan. Aku ingin menjadi capung.” Ucapnya pada diri sendiri.Ulat hijau itu masih menatap ratusan capung di pekarangan rumah milik lelaki tua itu. Menatap dengan kagum.Esoknya, udara masih panas. Tetapi tidak sepanas kemarin. Ulat kecil itu masih duduk di atas pohon yang telah tumbang itu. Dia jalan-jalan di atasnya. Badannya mulai terasa berat dan lebih berisi. Sesaat dia terpaku melihat segerombolan lebah datang dan berkumpul pada ranting pohon mangga milik lelaki tua itu.
Badan lebah yang kecil hitam dan sedikit berbulu membuat ulat hijau itu kagum terhadap penampilannya. Ada jarum kecil di ujung ekornya. Dan sepertinya ulat hijau itu tahu kegunaannya. Pasti untuk melindungi diri lebah dari serangan lain.
Ulat hijau itu duduk menatap lebah yang sibuk pada kegiatan yang dilakukannya. Membuat madu. Ulat hijau melihat sarang lebah yang berlubang di atas pohon mangga itu. Berkali-kali lebah-lebah itu meletakkan ujung ekornya ke dalam lubang itu. Selepasnya terlihat cairan mengkilat dan kental di dalamnya. Begitu menakjubkan tontonan itu.
Ulat kecil itu tak berhenti menatap lebah-lebah itu. Dia mulai berfikir.“Aku ingin menjadi lebah. Badannya yang bagus, hitam, berbulu dan punya senjata di ujung ekornya membuatku lebih merasa kuat. Aku ingin menghasilkan cairan kental itu setiap hati. Cairan itu begitu mengkilat dan aku ingin memilikinya. Aku ingin menjadi lebah.” Katanya lalu berjalan menuju kaki pohon mangga.
Badan kecilnya menggeliat pelan menuju kaki pohon mangga itu. Dia harus melewati rumput-rumput hijau yang tinggi, harus melewati kerikil-kerikil yang menurutnya sangat besar. Melewati sampah-sampah kecil yang dipenuhi oleh hewan-hewan kecil. Dan harus melewati hewan-hewan kecil yang lain seperti semut dan kutu.
“Aku ingin menemui lebah-lebah itu. Aku ingin bertemu dengan mereka. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan mereka!!” serunya.
“Lihatlah para makhluk kecil, aku akan menjadi lebah, dan terbang di atas kalian!”
Butuh waktu lama untuk sampai ke atas ranting pohon mangga itu. Badan gemuknya membuat gerah yang tidak karuan. Apalagi hari demi hari badannya semakin gemuk dan besar saja.Saat dia hampir sampai di mana lebah itu bersarang, terdengar bisik-bisik semut merah yang juga melewati batang bohon mangga.
“Hei kawan,” sapa semut merah pada kawanan semut lainnya,
“tidakkah kalian lihat ulat hijau itu. Badannya mulai membesar dan berbentuk! Akankah dia menjadi kepompong dan berubah menjadi kupu-kupu?”
Ulat hijau kecil itu terhenti sejenak.“Ya, sudah waktunya dia berubah wujud.” Sahut semut lainnya.“Akankah dia cantik? Secantik kupu-kupu yang ada di taman bunga itu?” tanya semut merah yang paling kecil.“Ya, aku pikir begitu.” Sahut semut merah yang lain. Kemudian mereka pergi.
Kupu-kupu? Batin ulat hijau, makhluk apa itu? Cantik? Dan aku akan berubah menjadi kupu-kupu? Apa kelebihannya? Apa lebih pintar dari burung? Apa lebih lincah dari capung? Apa lebih kuat dari lebah? Aku ingin melihat kupu-kupu! Dimana aku bisa menemukannya? Tunggu!! Taman bunga! Ya! Di situ tempatnya. Tapi di mana aku bisa menemukan taman bunga?
Kini ulat hijau itu berbalik arah menuju kaki pohon mangga, tapi langkahnya terhenti. Samar-samar terlihat warna-warni di sebelah utara pekarangan milik lelaki tua itu. Dan terlihat makhluk bersayap lebar terbang di sekeliling negeri penuh warna itu.
“Itu taman bunga.” Ujar kupu-kupu betina. Kupu-kupu betina itu tiba-tiba sudah ada di belakang ulat hijau itu. Sayapnya yang berwarna kuning menyala itu sangat indah dan mengagumkan. Sejenak ulat hijau terpukau melihat sayap lebar yang indah itu.
“Taman bunga?”“Ya. Akankah kau mau menyusul kami?”“Aku? Tapi apa lebah bisa ikut kalian?”“Lebah? Kau akan menjadi kupu-kupu.”“Kupu-kupu? Seperti apa kupu-kupu itu? Apakah dia cantik?”“Kau akan menjadi kupu-kupu jantan yang tampan. Sayapmu akan memancarkan keindahanmu. Tunggulah waktunya.”“Apa kau kupu-kupu itu?”Kupu-kupu betina itu mengangguk. Ia menjulurkan belalainya yang panjang menggulung di mulutnya.“Kau akan mengiasi taman bunga. Dan mengobati luka para manusia yang gundah gulana. Mempercantik taman mereka, dan itu menyenangkan. Aku tunggu kau di taman itu. Tunjukan sayap indahmu padaku.” Ujarnya lalu pergi meningalkan ulat hijau itu.“Kupu-kupu?” katanya pada diri sendiri. “Menghiasi taman, cantik, mengobati luka manusia yang gundah gulana, dan sayapku indah. Aku ingin menjadi kupu-kupu! Tapi kapan aku menjadi seperti mereka?”
Ulat hijau itu diam merenung di batang pohon mangga itu. Ia mengurungkan niatnya bertemu dengan lebah-lebah itu.
Tiba-tiba terdengar jerit melengking dari dalam rumah lelaki tua itu. Ternyata anaknya yang menjerit. Laki-laki tua dan anaknya keluar dari rumah dengan terburu-buru. Kening anak itu bengkak dan berwarna merah kebiru-biruan.“Lebah itu menusukku!!” jeritnya. “Usir dia, Ayah!”“Cepat kompres dengan ini.” Ayahnya memberikan handuk hangat pada anaknya.
Ulat hijau itu kaget melihat peristiwa itu. Ingin dia menghibur anak kecil itu agar tidak menangis lagi. Ingin dia mencium keningnya agar tidak terasa sakit lagi. Dia merasa iba dengannya.
“Mengapa lebah itu jahat?” tanyanya pada diri sendiri. “Lebah menyakiti anak kecil itu. Kasihan dia... aku akan menghiburnya jika aku menjadi kupu-kupu nanti...”Tiba saatnya, ulat kecil itu diselimuti selaput hijau. Badannya mulai terbungkus dan menempel pada batang pohon mangga itu. Warna hijau muda yang terlihat sangat segar.Kepompong itu diam di batang pohon mangga itu selama berhari-hari.
Hari demi hari, warna hijau kepompong itu memudar dan menjadi putih pucat kecoklatan. Selimut itu menjadi kering dan mulai robek.Perlahan sayap basah dan berwarna ungu itu menyumbul dari selimut keringnya. Badannya yang mungil melepaskan diri dari kamar kecilnya itu. Kaki-kaki tipis itu mulai dijejakkan di permukaan batang pohon mangga itu. Belalai yang panjang dan menggulung telah dimilikinya.
Pelahan digerak-gerakkannya sayap yang sudah melai mengering itu, semakin cepat dan terbanglah kupu-kupu tampan itu.Akhirnya dia merasakan terbang bebas di kaki langit, melihat dunia sebatas cakrawala mata, dengan badan ramping dan sayap yang indah.
Sesegera mungkin dia terbang menuju taman bunga itu. Dilihatnya bunga-bunga yang begitu memikat hati. Hasrat untuk mendekatinya sangat besar. Kupu-kupu muda itu hinggap di atas bunga mawar putih. Untuk pertama kalinya belalai panjang itu digunakannya untuk menghisap madu.
Begitu nikmat madu ini..., batinnya, ah..., aku lupa! Aku harus menemui kupu-kupu bersayap kuning itu. Tapi..., dimana dia??Kupu-kupu itu terbang mencari dari kupu-kupu bersayap kuning itu. Dia berkeliling taman mencarinya. Sesaat kemudian, dia bertemu dengan kupu-kupu betina tersebut.
“Kau sudah berubah ternyata. Aku telah lama menunggumu di sini.” Ujar kupu-kupu bersayap kuning itu. “Kini tiba saatnya aku mengatakan sesuatu padamu. Aku akan terbang ke taman lain, dan aku tidak akan pergi sebelum bertemu dengan kau.”“Tapi mengapa kau pergi? Aku baru saja menjadi kupu-kupu dan baru saja bertemu dengan kau, tapi mengapa kau ingin pergi meninggalkan aku?”
“Cita-citaku sebagai kupu-kupu, adalah pergi ke seluruh taman di negeri ini. Tapi itu mustahil. Aku hanya bisa pergi dari taman satu ke taman yang lainnya. Dan sudah waktunya aku pergi lagi.”
“Tapi...”
“Jadilah kupu-kupu yang baik dan cantik. Jadilah dirimu sendiri. Buatlah hidupmu berarti. Buatlah cita-cita untuk tujuan hidupmu.” Kupu-kupu betina itu bersiap untuk terbang. “Ikuti kata hatimu...” ujarnya lalu pergi.
Itu kata-kata terakhir yang diucapkan kupu-kupu bersayap kuning itu. Tinggalah kupu-kupu muda bersayap ungu sendiri. Akhirnya dia memutuskan untuk terbang mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan obyek bermainnya.
Dia terbang menuju rumah milik lelaki tua itu. Terlihat lelaki tua dan anaknya sedang bersenda gurau. Istrinya sedang memasak di dapur. Kupu-kupu muda itu masuk ke rumah itu. Akhirnya dia bisa masuk ke dalam rumah itu.
“Ayah! Ada kupu-kupu cantik di sini!”
Lelaki tua itu mengulurkan tangannya, dan kupu-kupu muda itu hinggap di punggung telapak tangan lelaki tua itu.Begitu menginjakkan kakinya di tangan yang mulai keriput itu, pikiran kecil masuk di otaknya.
“Aku ingin menghibur keluarga ini. Aku akan selalu hadir dalam hidup mereka. Aku bercita-cita membawa keindahan di rumah mereka. Aku ingin menghiasi rumah mereka. Sampai aku mati nanti...”
NB; www.cerpen.net
Minggu, 04 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar